ISUE ETIK DALAM PRAKTIK KEPERAWATAN
I. EUTHANASIA
Eutanasia (Bahasa Yunani , eu yang artinya
"baik", dan thanatos yang berarti kematian) adalah
praktik pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap
tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya
dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.
Aturan hukum mengenai masalah ini
berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring dengan
perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan perawatan
atau tindakan medis. Di beberapa negara, eutanasia
dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya
dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan
dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
Dari sudut cara pelaksanaannya :
a. Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif,
adalah suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau
mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian
suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui
suntikan. Salah satu contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.
b. Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia
otomatis (autoeuthanasia) digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu
kondisi dimana seorang pasien menolak secara
tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui bahwa
penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut
diajukan secara resmi dengan membuat sebuah "codicil"
(pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu
praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang bersangkutan.
c. Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai
tindakan eutanasia negatif yang tidak menggunakan alat-alat atau
langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang pasien. Eutanasia
pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang dapat
memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan
tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan, tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan
tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit
seperti morfin yang disadari justru akan
mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara
terselubung oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh
tenaga medis maupun pihak keluarga yang
menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena
ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus
keluarga pasien yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada
permintaan dari pihak rumah sakit untuk membuat "pernyataan pulang
paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan meninggal secara
alamiah sebagai upaya defensif medis.
Dari sudut pemberian izin :
§ Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan
eutanasia yang bertentangan dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup.
Tindakan eutanasia semacam ini dapat disamakan denganpembunuhan.
§Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi bahan
perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun
juga.Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak
untuk mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari
si pasien (seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat
kontroversial sebab beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil
keputusan bagi si pasien.
§Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si
pasien sendiri, namun hal ini juga masih merupakan hal kontroversial.
Dari sudut tujuan :
§ Pembunuhan berdasarkan belas
kasihan (mercy killing)
§ Eutanasia hewan
§ Eutanasia berdasarkan bantuan
dokter, ini adalah bentuk lain daripada eutanasia agresif secara sukarela.
Beberapa contoh kasus eutanasia :
1. Kasus Hasan Kusuma - Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan eutanasia pada
tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukan oleh seorang
suami bernama Hassan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama
Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 2 bulan dan di samping itu
ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan
pula. Permohonan untuk melakukan eutanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu
contoh bentuk eutanasia yang di luar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya
ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan
intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan
dalam pemulihan kesehatannya.
2. Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat
Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April
1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena
kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan.Oleh karena
tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini
kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan
orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan
sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat
bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan
koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien
tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
II. ABORSI
Gugur kandungan atau aborsi (bahasa Latin: abortus) adalah berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20
minggu yang mengakibatkan kematian janin. Apabila janin lahir selamat
(hidup) sebelum 38 minggu namun setelah 20 minggu, maka istilahnya adalah kelahiran prematur.
·
Spontaneous abortion: gugur kandungan yang disebabkan
oleh trauma kecelakaan atau sebab-sebab alami.
·
Induced abortion atau procured abortion: pengguguran kandungan yang
disengaja. Termasuk di dalamnya adalah:
·
Therapeutic abortion: pengguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut
mengancam kesehatan jasmani atau rohani sang ibu, kadang-kadang dilakukan
sesudah pemerkosaan.
·
Eugenic abortion: pengguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat.
·
Elective abortion: pengguguran yang dilakukan untuk alasan-alasan lain.
Dalam
bahasa sehari-hari, istilah "keguguran" biasanya digunakan
untuk spontaneous abortion, sementara
"aborsi" digunakan untuk induced
abortion.
Klasifikasi Abortus :
1. Abortus spontanea
Abortus spontanea merupakan abortus yang
berlangsung tanpa tindakan, dalam hal ini dibedakan sebagai berikut: Abortus
imminens, Peristiwa terjadinya perdarahan dari
uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam
uterus, dan tanpa adanya dilatasi serviks.
A.
Pengertian Abortus imminen adalah perdarahan bercak yang
menunjukkan ancaman terhadap kelangsungan sauatu kehamilan. Dalam kondisi
seperti ini kehamilan masih mungkin berlanjut atau dipertahankan. (Syaifudin.
Bari Abdul, 2000) Abortus imminen adalah perdarahan pervaginam pada kehamilan
kurang dari 20 minggu, tanpa tanda-tanda dilatasi serviks yang meningkat (
Mansjoer, Arif M, 1999) Abortus imminen adalah pengeluaran secret pervaginam
yang tampak pada paruh pertama kehamilan ( William Obstetri, 1990).
B. Etiologi Abortus dapat terjadi
karena beberapa sebab yaitu :
i. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi,
biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8 minggu. Faktor yang
menyebabkan kelainan ini adalah :
-
Kelainan kromosom, terutama trimosoma dan monosoma X
-
Lingkungan sekitar tempat impaltasi kurang sempurna
-
Pengaruh teratogen akibat radiasi, virus, obat-obatan temabakau dan alkohol
ii. kelainan pada plasenta, misalnya
endarteritis vili korialis karena hipertensi menahun
iii. faktor maternal seperti pneumonia,
typus, anemia berat, keracunan dan toksoplasmosis.
iv. kelainan traktus genetalia, seperti
inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua), retroversi uteri,
mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.
Abortus insipiens, Peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan adanya dilatasi serviks uteri yang meningkat, tetapi hasil
konsepsi masih dalam uterus.
Abortus inkompletus, Pengeluaran sebagian hasil
konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal
dalam uterus.
Abortus kompletus, semua hasil konsepsi sudah
dikeluarkan.
2. Abortus provokatus
Abortus provokatus merupakan jenis abortus yang
sengaja dibuat/dilakukan, yaitu dengan cara menghentikan kehamilan sebelum
janin dapat hidup di luar tubuh ibu. Pada umumnya bayi dianggap belum dapat
hidup diluar kandungan apabila usia kehamilan belum
mencapai 28 minggu, atau berat badan bayi kurang dari 1000 gram,
walaupun terdapat beberapa kasus bayi dengan berat dibawah 1000 gram dapat
terus hidup. Pengelompokan Abortus provokatus secara lebih spesifik:
Abortus Provokatus Medisinalis/Artificialis/Therapeuticus, abortus yang dilakukan dengan disertai indikasi medik. Di Indonesia yang dimaksud
dengan indikasi medik adalah demi menyelamatkan
nyawa ibu. Syarat-syaratnya:
-
Dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukannya (yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan) sesuai dengan tanggung jawab profesi.
-
Harus ada
persetujuan tertulis dari penderita atau suaminya atau keluarga terdekat.
-
Dilakukan
di sarana kesehatan yang memiliki tenaga/peralatan yang memadai, yang ditunjuk
oleh pemerintah.
-
Prosedur
tidak dirahasiakan.
Abortus Provokatus Kriminalis, aborsi yang sengaja dilakukan
tanpa adanya indikasi medik (ilegal). Biasanya pengguguran dilakukan
dengan menggunakan alat-alat atau obat-obat tertentu.
Penyebab abortus :
Karakteristik ibu hamil dengan abortus yaitu :
1. Umur
Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk
kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal pada wanita
hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun ternyata 2-5 kali lebih tinggi
daripada kematian maternal yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Kematian
maternal meningkat kembali sesudah usia 30-35 tahun. Ibu-ibu yang terlalu muda
seringkali secara emosional dan fisik belum matang, selain pendidikan pada
umumnya rendah, ibu yang masih muda masih tergantung pada orang lain.
Keguguran sebagian dilakukan dengan sengaja untuk
menghilangkan kehamilan remaja yang tidak dikehendaki. Keguguran sengaja yang
dilakukan oleh tenaga nonprofessional dapat menimbulkan akibat samping yang
serius seperti tingginya angka kematian dan infeksi alat reproduksi yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kemandulan. Abortus yang terjadi pada remaja terjadi
karena mereka belum matur dan mereka belum memiliki sistem transfer plasenta
seefisien wanita dewasa.
Abortus dapat terjadi juga pada ibu yang tua meskipun mereka
telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya sudah mulai
menurun sehingga dapat memengaruhi janin intra uterine.
2. Jarak hamil dan bersalin terlalu
dekat
Jarak kehamilan kurang dari 2 tahun dapat menimbulkan
pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama dan perdarahan pada saat
persalinan karena keadaan rahim belum pulih dengan baik.
Ibu yang melahirkan anak dengan jarak yang sangat berdekatan
(di bawah dua tahun) akan mengalami peningkatan risiko terhadap terjadinya
perdarahan pada trimester III, termasuk karena alasan plasenta previa, anemia
dan ketuban pecah dini serta dapat melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
3. Paritas ibu
Anak lebih dari 4 dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan
janin dan perdarahan saat persalinan karena keadaan rahim biasanya sudah lemah.
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian
maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian maternal.
Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan asuhan obstetrik lebih baik,
sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan
keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi adalah tidak
direncanakan.
4 Riwayat Kehamilan yang lalu
Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus
lagi pada seorang wanita ialah 73% dan 83,6%. Sedangkan, Warton dan Fraser dan
Llewellyn Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%
(Wiknjosastro, 2007).
Penyebab
dari segi Janin :
-
Kematian
janin akibat kelainan bawaan.
Aspek Hukum dan Medikolegal Abortus Povocatus Criminalis
Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad,
tetapi selama itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan
abortus. Peraturan mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di
mana telah ada larangan untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang
mengenai abortus terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir
ini di mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah
di berbagai negara di dunia terhadap tindakan abortus.
Hukum abortus di berbagai negara dapat digolongkan dalam
beberapa kategori sebagai berikut :
-
Hukum yang
tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.
- Hukum yang memperbolehkan abortus
demi keselamatan kehidupan penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan.
- Hukum yang memperbolehkan abortus
atas indikasi medik, seperti di Kanada, Muangthai dan Swiss.
- Hukum yang memperbolehkan abortus atas
indikasi sosio-medik, seperti di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan
India.
- Hukum yang memperbolehkan abortus
atas indikasi sosial, seperti di Jepang, Polandia, dan Yugoslavia.
- Hukum yang memperbolehkan abortus
atas permintaan tanpa memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion on
requst atau Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR,
Singapura.
- Hukum yang memperbolehkan abortus
atas indikasi eugenistis (aborsi boleh dilakukan bila fetus yang akan lahir
menderita cacat yang serius) misalnya di India
- Hukum yang memperbolehkan aborsi
atas indikasi humanitarian (misalnya bila hamil akibat perkosaan) seperti di
Jepang,
Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang
Negara, maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk
melakukan tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak
awal seseorang yang akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan
Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya
menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk
menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.
Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah
merumuskannya dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum,
pasal 7d: :Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang
melakukan pelanggaran, maka penegakan implementasi etik akan dilakukan secara
berjenjang dimulai dari panitia etik di masing-masing RS hingga Majelis
Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa
"pengucilan" anggota dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi
administratif tertinggi adalah pemecatan anggota profesi dari komunitasnya
III. TRANSPLANTASI ORGAN
1. Pengertian
Transplantasi organ adalah
transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke
tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang
sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak
befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat
merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal.
2. Jenis-jenis transplantasi
a. Transplantasi Autologus
Yaitu perpindahan dari suatu tempat ke
tempat lain dalam tubuh itu sendiri, yang dikumpulkan sebelum pemberian
kemoterapi.
b. Transplantasi Alogenik
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ke tubuh
lain yang sama spesiesnya, baik dengan hubungan keluarga atau tanpa hubungan
keluarga.
c. Transplantasi Singenik
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ke tubuh
lain yang identik, misalnya pada gambar identik.
d. Transplantasi Xenograft
Yaitu perpindahan dari satu tubuh ke tubuh
lain yang tidak sama spesiesnya.
3. Komponen penting yang mendasari tindakan
transplantasi :
a.Eksplantasi
Yaitu usaha mengambil jaringan atau organ
manusia yang hidup atau yang sudah meninggal.
b. Implantasi
Yaitu usaha menempatkan jaringan atau organ
tubuh tersebut kepada bagian tubuh sendiri atau orang lain.
4. Reaksi Penolakan
Terjadi oleh sel T helper (CD4+)
resepien yang mengenal antigen MHC allogenic. Sel T helper merangsang sel Tc (T
cititixic atau CD8+) mengenal antigen MHC allogenic untuk membunuh sel sasaran.
Sel T helper melalui Limfokin menyebabkan Makrofag dikerahkan
akibatna kerusakan jaringan target. Reaksi yang terjadi mirip dengan
Hipersensitivitas tipe IV (Gell dan Coombs). Tipe reaksi penolakan :
a. Rejeksi
hiperakut
Yaitu reaksi yang terjadi dalam 24
jam setelah transplantasi.
b. Rejeksi
Akut
Yaitu reaksi yang terlihat pada
resepien yang sebelumnya tidak tersensitasi terhadap transplan pada penolakan
umum allograft dan pengobatan imunosupresif yang kurang efektif.
c. Rejeksi
Kronis
Yaitu hilangnya fungsi organ yang
dicangkokkan secara perlahan beberapa bulan/tahun sesudah organ berfungsi
normal dan disebabkan oleh sensivitas yang timbul terhadap antigen transplan
atau oleh sebab intoleransi terhadap sel T.
IV. SUPPORTING DEVICES
1. Pengertian Supporting Devices
Supporting Devices adalah perangkat tambahan atau
pendukung. Jika ditinjau dari segi keperawatan, maka dapat kita simpulkan kalau
supporting devices itu adalah perangkat tambahan yang digunakan dalam dunia kesehatan
pada para perawat dalam melakukan praktek.
2. Klasifikasi Supporting Devices
a. Alat bantu
Teknologi medis yang canggih merupakan alat atau perkakas untuk para dokter,
dan alat bantu akan mengurangi beban perawat. Kemajuan dalam layanan medis
dengan sistem komputerisasi ang canggih, melindungi jiwa banyak orang. Produk
THK memnuhi standar reabilitas tertinggi ang diperlukan untuk alat medis.
b. Peralatan sinar X
Pemandu LM dan Cincin Roller Lintang digunakan untuk pergerakan reseptor sinar
X. Ini memungkinkan mesin sinar X untuk menggerakkan unit transmiter dan
penerim sinar ke arah manapun dan mengambil gambar dari sudut manapun, tanpa
bergantung pada posisi pasien. Saat produk THK digunakan, getaran dan suara
mesin juga dikurangi sehingga menghilangkan kekhawatiran pasien. Sinar X yang
mampu melakukan penetrasi ke dalam tubuh pasien.
c. Peralatan analisis otomatis
hematologikal
Splina Bola dapat menekan getaran di ujung injektor saat dihentikan, dan mur
perubah sekrup geser memungkinkan terciptanya mekanisme pengumpanan dengan
kecepatan tinggi dan sangat mulus.
d. Pemindai CT sinar X medis
Pemindai CT sinar X merupakan perangkat tunggal yang memindai keseluruhan tubuh
pasien dan terdiri dari pemindai CT (Computed Tomography) dan peralatan
angiografi. Pada perangkat ini, pemandu LM THK digunakan di bagian gerakan
longitudinal yang menggerakkan pasien yang terbaring di tempat tidur selama
proses pemindaian. Karena pemandu tersebut dapat mengurangi getaran dan suara
selama gerakan sistem, komponen ini dapat menghilangkan kekhawatiran pasien.
3. Fungsi Klasifikasi Supporting Devices
a. Fungsi Sinar X yaitu untuk melihat
kondisi tulang serta organ tubuh tanpa melakukan pembedahan pada tubuh pasien.
b. Fungsi analisis otomatis
hematologikal yaitu untuk transportasi vertikal injektor reagen dalam
peralatan tes hematologikal.
c. Fungsi CT sinar X
medis yaitu untuk diagnosis sistem sirkulasi.
d. Fungsi penopang kursi roda
elektrik yaitu dalam fasilitas mandi dengan pengangkat (lift)
bertenaga listrik.
e. Fungsi Robot pendukung
pembedahan yaitu robot pendukung pembedahan dapat menjadi alat yang
berdaya guna tinggi, dan juga membuat proxide ini menjadi kompak untuk
mendapatkan tingkat akurasi tinggi selama pembedahan, sehingga mampu
mensimulasi gerakan dokter yang dapat diandalkan.
f. Fungsi Handheld yaitu mulai
meningkatkan kemampuan untuk berfikir kritis terkait tindakan keperawatan yang
diberikan kepada pasien sesuai dengan kondisi dan penyakit yang diderita oleh
pasien tersebut.
g.Fungsi Handheld Device yaitu Handheld
device digunakan dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien melalui
kemampuan mengakses informasi, mempermudah penghitungan, dan memperlancar
komunikasi.
h. Fungsi Wireless Communication yaitu untuk
memperoleh hasil pemeriksaan laboratorium pasien atau melakukan perubahan
pesanan ke laboratorium.
4. Dampak Negatif Supporting Devices
a.Sinar X
Terlepas dari peranan Sinar X dalam menunjang informasi
diagnosis klinis, Sinar X ternyata memiliki sisi yang sangat perlu diperhatikan
secara khusus, yaitu berkaitan dengan efek negatif yang
ditimbulkan.
Perlu diketahui bahwa Sinar X dengan karakteristiknya
memiliki energi minimal sebesar 1 KeV = 1000 eV. Energi sebesar ini jika
berinteraksi dengan tubuh manusia tentunya dikhawatirkan akan memberikan dampak
negatif.
Ada beberapa kemungkinan peristiwa yang dapat terjadi,
ketika Sinar X berinteraksi dengan materi (tubuh manusia) dari sudut pandang
mikroskopis, yaitu hamburan Compton, hamburan Fotolistrik dan hamburan
Pair Production. Hamburan Compton terjadi karena Sinar X berinteraksi
dengan elektron yang terletak pada lintasan terluar, yang selanjutnya elektron
ini akan terlempar keluar dari atom.
Efek hamburan Compton umumnya terjadi pada rentang energi
sekitar 26 keV (kilo elektron volt) untuk diagnostik. Hamburan fotolistrik
terjadi ketika Sinar X berinteraksi dengan atom materi dan melemparkan salah
satu elektron sehingga mengakibatkan elektron lainnya, bergerak menuju lintasan
yang kehilangan elektron sambil melepaskan energinya.
Hamburan ini juga dapat terjadi pada energi untuk
diagnostik. Sedangkan hamburan pair production jarang sekali terjadi di bidang
imaging diagnostik karena membutuhkan energi Sinar X yang sangat besar 1,02 MeV
(mega elektron volt). Walaupun sudut pandang ini hanya dilihat secara
mikroskopis, secara makroskopis dikhawatirkan akan mengganggu kestabilan atom
materi dan menimbulkan kelainan pada sel tubuh manusia.
Ini perlu kehati-hatian dan pemilihan yang tepat dalam
penggunaannya di bidang medis. Walaupun secara empiris pasien yang diberikan
Sinar X pada level diagnostik medis di rumah sakit tidak mengalami gejala
ataupun tanda-tanda kerusakan jaringan. Namun gejala kelainan pada tubuh
manusia akan muncul jika diberikan Sinar X secara berlebihan. Oleh karena itu
paparan radiasi medis (diagnostik imaging) yang mengenai tubuh pasien
diharapkan sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan kebutuhan dalam imaging adalah
kualitas citra yang mampu menunjang diagnosis klinis yang diderita pasien
dengan tidak memberikan paparan radiasi yang berlebihan atau tidak dibutuhkan
kepada tubuh pasien.
b.CT Scan
Ternyata radiasi alat-alat tersebut dalam waktu lama bisa
meningkatkan risiko terserang penyakit leukemia.
Sinar-X adalah suatu radiasi berenergi kuat yang tergantung
pada dosisnya, dapat mengurangi pembelahan sel, merusak materi genetik, dan
menimbulkan defek pada bayi yang belum dilahirkan. Sel-sel yang membelah cepat
adalah paling sensitif terhadap paparan sinar-x. Bayi dalam perut ibu sensitif
terhadap sinar-x karena sel-selnya masih dalam taraf pembelahan dengan cepat,
dan berkembang menjadi jaringan dan organ yang berbeda-beda. Pada dosis
tertentu, paparan sinar-x pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran atau
cacat pada janin yang dikandungnya, termasuk kemungkinan terjadinya kanker pada
usia dewasa.
Memang sebagian besar prosedur pemaparan sinar-x
menghasilkan radiasi yang relatif ringan. Namun sebagai langkah jaga-jaga,
penggunaan sinar-x pada wanita hamil kecuali benar-benar
perlu,harus dihindari. Wanita yang melalui pemeriksaan rontgen sebelum
mengetahui status kehamilannya harus berbicara kepada dokternya.
CT Scan memang bisa memberikan hasil tes medis secara cepat
dan rinci. Beberapa penyakit pada anak seperti radang paru atau patah tulang
juga membutuhkan alat-alat pemindai kesehatan untuk diagnosis yang lebih
akurat.
Tetapi para ahli juga mengingatkan bahaya terselubung yang
mungkin timbul. Pada anak-anak, paparan sinar-X tiga kali atau lebih akan
meningkatkan ancaman leukimia. "Menghindari atau mengurangi paparan
radiasi sangat penting," kata Patricia Buffler, dari Univesitas Berkeleys
School of Public Health, Amerika.
Dalam penelitiannya, ia mengamati catatan medis 711 anak
berusia maksimal 14 tahun yang didiagnosa leukimia limfoid akut di California
antara tahun 1995-2008. Ia membandingkannya dengan data anak yang tidak
menderita leukimia.
Secara umum peningkatan risiko leukimia pada anak memang
tidak terlalu besar. Dari 100.000 anak, ada 4 yang terkena leukimia. Namun,
meski kasus kankernya kecil, tetap saja risikonya ada. Buffler menjelaskan,
radiasi yang terdapat dalam sinar-X membuat sel-sel dalam tubuh bermutasi dan
menciptakan kanker. CT-Scan yang belakangan ini sangat populer memiliki tingkat
radiasi yang lebih tinggi.
Pemajanan medan elektromagnet yang terlalu sering diduga
meningkatkan risiko kanker. Demikian studi terbaru yang dipublikasikan dalam
jurnal ilmiah New England Journal of Medicine.
Kesimpulan tersebut didapat berdasarkan survei terhadap
950.000 pasien. Hampir 70 persen pasien pernah mengalami sekurangnya satu kali
prosedur pencitraan yang membuat mereka terpajan. Dalam waktu tiga tahun
selanjutnya, diketahui mereka menderita kanker.
DAFTAR PUSTAKA
CWNews(2002). Belgium Euthanasia
Law in Effect.
Humanrights(2003). “Euthanasia”
in China: Yes or No?. From
Euthanasia(2002).Colombia's
Highest Court Legalizes Euthanasia.From
Apuranto, H. 2006.
Ilmu Kedokteran Forensik Dan Medikolegal.Surabaya: Bag. Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran UNAIR
World
Health Organization.1988. Global and Regional Estimates of Incidence of and
Mortality due to Unsafe Abortion with a Listing of Available Country Data.
Geneva: Division of Reproductive Health (Technical Support) WHO
Prawirohardjo,
Sarwono. 2002.Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo